Selasa, 05 Februari 2008

Tradisi Imlek Untuk Semua Agama


Tradisi Imlek hidup sejak sekitar lima abad yang lalu. Tradisi ini sangat erat berkaitan dengan tradisi agraris nenek moyang bangsa Tionghoa yang tinggal di lembah Sungai Huang. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan siklus alam. Ada empat musim yang mereka alami, yaitu musim semi (Chun), musim panas (Xia), musim gugur (Qiou), dan musim dingin (Dong). Dari siklus ini mereka menentukan Chun sebagai yang pertama karena masa itu berkaitan dengan seluruh hidup mereka.
Tanggal 1 bulan 1 Yingli (Imlek) menjadi Tahun Baru. Mereka menyesuaikan semua gerak kehidupan dengan gerak alam raya. Tahun Baru bagi mereka bukan karena kalender lama sudah habis dan harus mulai dengan tanggal 1 Januari, melainkan saat bangkitnya alam dari musim dingin, yaitu datangnya musim semi. Maka, suasana batin pun mengikuti siklus alam. Orang Tionghoa selalu menantikan datangnya musim semi. Musim semi adalah kegembiraan. Ada semacam pergerakan psikologis yang selalu menyertai orang Tionghoa dalam menanti musim semi.
Secara material, yang dipersiapkan untuk mengiringi kegembiraan batin adalah pesta. Warna merah meraja karena dalam mitologi Tionghoa warna itu ditakuti oleh monster Nien yang suka memangsa. Nien juga berarti tahun. Jadi warna merah juga berarti harapan baru. Dalam lingkaran sosial, pesta rakyat selalu mengiring Imlek. Pesta ini berkaitan dengan pernak-pernik pesta: suasana rumah yang bersih, pakaian baru, hidangan lezat, musik dan bebunyian yang hingar-bingar.
Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuannya, sebagai ungkapan syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rejeki lebih banyak, di samping untuk menjamu leluhur dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Karena perayaan Imlek berasal dari kebudayaan petani, segala bentuk persembahannya berupa berbagai jenis makanan.
Menurut Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia, Tomy Su (Kompas Edisi Jawa Timur, 8/2/2005), dari sejarahnya Imlek bukan perayaan agama tertentu, melainkan upacara tradisional masyarakat Tionghoa. Di Cina sendiri, Imlek diperingati bersama oleh warga yang beragama Khonghucu, Buddha, Hindu, Katolik, Kristen, dan Islam.
Tetapi khusus bagi penganut Khonghucu dan Buddha, Imlek tetap merupakan perayaan agama. Bagi umat Khonghucu, misalnya, secara khusus Imlek merupakan peringatan tahun kelahiran Sang Nabi (Kongzi atau Konfusius), tokoh yang sarat dengan pesan moral. Konfusius pernah bersabda: “Pakailah penanggalan Dinasti He…” Kitab Sabda Suci (Lun Gi/Lun Yu) jilid XV:11.
Upacara menyambut Tahun Baru Imlek oleh penganut Khonghucu disebut Toapekong, dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian)/bulan La (bahasa Mandarin) tanggal 23 atau 24. Kata Toapekong bermakna paman buyut (saudara laki-laki buyut) dengan makna kiasan dewa. Biasanya dewa dianggap orang berusia tua. Toapekong digambarkan sebagai orang yang seusia buyut atau generasi di atasnya. Pada tanggal 23/24 bulan 12, Toapekong yang naik yaitu Dewa Dapur bernama Zao Shen yang merupakan Dewa Penguasa Penentu Kebahagiaan. Di Indonesia, Dewa Dapur disebut juga Cao Kun Kong.
Sementara itu, identifikasi Imlek sebagai hari raya Buddhis dimulai setelah agama Buddha menyebar di Tiongkok pada zaman Dinasti Han (202 sebelum Masehi-221 Masehi) di bawah Raja Han Ming Ti. Pada awalnya, agama Buddha dianut kalangan istana, lalu menyebar ke masyarakat. Rakyat yang sudah menganut agama Buddha masih tetap mempertahankan budaya tradisionalnya, bahkan kadang tercampur dengan kepercayaan kuno seperti Taoisme dan Konfusianisme. Mereka kadang merayakan hari-hari raya agama Buddha bersama perayaan tradisional yang lebih tua, lalu terjadi akulturasi budaya.
Bagi Tionghoa Katolik, Kristen, dan Islam, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan. Namun, tidak ada salahnya jika pada Tahun Baru Imlek yang merupakan tradisi dari nenek moyang itu, Tionghoa Katolik, Kristen, dan Islam berdoa dan bersyukur pada Sang Khalik (Tuhan Sang Pencipta). Patut dihargai, misalnya, langkah pengurus Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya yang memberikan izin kepada warga Tionghoa Muslim, baik yang tergabung dalam Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) maupun bukan untuk melakukan perayaan Imlek di Masjid dengan arsitektur Cina itu. Di sejumlah Gereja Katolik Indonesia juga menggelar Misa Imlek bagi Tionghoa yang beragama Katolik.
Berangkat dari fakta di atas semakin jelaslah bahwa tradisi Imlek tidak eksklusif milik satu agama atau golongan tertentu. Dalam Imlek terkandung pesan inklusif yang mencoba menjembatani semua sekat atau perbedaan yang ada. Imlek menjadi hari raya kultural Tionghoa secara umum. Singkatnya, satu Imlek bisa dirayakan oleh semua orang dan semua agama. Karena itu, semua masyarakat Tionghoa, baik yang totok atau peranakan, tidak perlu takut atau ragu lagi untuk secara terbuka merayakan Imlek. Entah Tionghoa penganut Khonghucu, Buddha, Hindu, Katolik, Kristen, dan Islam bisa bersatu dalam satu rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Satu. Segala perbedaan bukan coba dihapus, tetapi diterima dan dihargai keberadaannya, sehingga kehidupan ini pun semakin harmonis. Harmonis bukan berarti hendak menghapus perbedaan tetapi justru dijaga agar perbedaan itu bisa dikelola sehingga menjadi satu lagu merdu. Bukankah sebuah lagu merdu tersusun dari nada-nada yang berbeda? Bukankah sebuah taman indah terdiri dari banyak bunga yang beraneka ragam warnanya?
Keindahan dalam perbedaan itu tidak pernah akan terjadi tanpa ada kebebasan, termasuk kebebasan merayakan Imlek. Kalau kini kita bisa bebas merayakan Imlek, kebebasan itu juga tidak jatuh dari langit. Kita ingat ada yang harus jadi “tumbal” atau “kurban” sehingga kita kini menikmati suasana merdeka dalam mengekspresikan tradisi.
Karena itu, rasanya bijak jika warga Tionghoa merayakan Imlek tetap dengan solider dan berempati dengan saudara sebangsa yang lain. Tanpa solidaritas nyata bagi yang lemah, kemakmuran atau kesejahteraan yang kita nikmati tidak ada artinya. Bahkan tanpa kesediaan berbagi dengan yang lemah dan miskin, iman kepercayaan kita kepada Sang Khalik akan menjadi sia-sia. Mudah-mudahan tradisi Imlek menjadi salah satu “jembatan” untuk menyatukan perbedaan di antara kita.

Oleh: Timo Teweng
Pemerhati masalah sosial dan Pemred Majalah Umat Katolik Jember, tinggal di Jember, Jawa Timur.
 

© 2009 Fresh Template. Powered by Blogger.

Fresh Template by NdyTeeN