Senin, 11 Februari 2008

Guru Agama Dianaktirikan

IN PONDASI - Kening Dra. Hamidah tampak berkerut tatkala membaca koran harian terbitan lokal. Mata karyawati salah satu perusahaan di Kota Pekanbaru itu tertuju pada berita tentang aksi demo yang digelar ratusan guru agama di bawah naungan Departemen Agama. Mereka menuntut perhatian yang sama dari pemerintah daerah.
Hatinya sangat terenyuh. Betapa tidak, aspirasi yang disampaikan pekan lalu itu seakan merupakan cerminan suara hati ribuan guru agama yang tersebar di seluruh kabupaten/kota yang ada di Riau. Mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah daerah. Ketidakadilan yang dirasakan para guru agama di Pekanbaru itu karena mereka menilai pemerintah kota bersikap diskriminatif dalam memberikan uang tunjangan, bila dibandingkan dengan guru pegawai negeri umum bernomor NIP 13.
Para guru agama yang tergabung dalam Forum Silaturrahmi Guru NIP 15 itu merasa terabaikan karena hanya mendapat uang tunjangan transportasi sebesar Rp750 ribu tiap bulannya, sementra guru umum mendapat uang tunjangan sebesar Rp1,5 juta, terdiri dari uang transportasi sebesar Rp750 ribu plus uang tunjangan kesejahteraan sebesar Rp750 ribu. Begitu pula berbagai perhatian lainnya dari pemerintah kota yang dirasakan masih kurang dibanding dengan guru umum.
Yang lebih membuat miris hati Hamidah terutama mengenang guru honor agama di berbagai Madrasah Diniah Awaliyah (MDA) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sepengetahuannya, ratusan dan bahkan ribuan guru honor agama yang tersebar di seluruh wilayah Riau ini tercuaikan. Beda dengan guru honor umum yang diangkat sebagai guru bantu oleh pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. “Sebenarnya hal ini tak boleh terjadi,” gumamnya.
Kenyataannya memang tidak bisa dinafikan bahwa perhatian pemerintah daerah jauh lebih baik diberikan kepada guru umum ketimbang guru agama. Seakan mereka dianaktirikan. Padahal, mereka sama-sama mengabdi untuk memajukan anak bangsa melalui ilmu pengetahuan. Dimana ilmu pengetahuan yang dapat memberikan pencerahan bagi masa depan bangsa.
Afrizal, salah seorang guru agama di Pekanbaru, berpendapat bahwa guru agama dan guru umum merupakan dua potensi yang tidak dapat dipisahkan dalam memajukan masyarakat. Karena itu, dia sangat berharap agar pemerintah daerah juga tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan perhatian untuk meningkatkan kesejahteraan dan penigkatan sumber daya para guru agama.
Guru agama negeri NIP 15 saja merasa dianaktirikan. Bagaimana pula yang terjadi pada nasib guru agama honorer yang mengabdi di MDA atau MI yang tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Riau. Dimana MDA atau MI ini merupakan sekolah agama setingkat Sekolah Dasar (SD), yang memang sudah mulai terlupakan oleh pengambil kebijakan. Terlupan dalam berbagai hal, seperti kesejahteraan gurunya, pembangunan infrastrukturnya, dan juga operasional madrasahnya.
Guru honor sekolah umum mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah daerah. Pemerintah provinsi mengangkat guru bantu, begitu pula dengan masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Sementara guru agama yang mengabdi di madrasah-madrasah masih tercuaikan. Mereka sebagian besar hanya mendapat honor dari masing-masing madrasah.
Memang ada beberapa daerah kabupaten yang memberikan bantuan tunjangan, itupun tidak memadai. Sebagaimana yang diberikan Pemko Pekanbaru terhadap 1.200 guru MDA sebesar Rp350 ribu sebulan. Jumlah itu masih sangat jauh dari harapan karena masih jauh untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masih jauh dari pendapatan guru tidak tetap (GTT), yang mendapat penghasilan sampai Rp1,5 juta sebulan. Kabarnya untuk tahun ini, honor GTT yang diangkat Pemko Pekanbaru ini juga bakal dinaikkan.
Bahkan, di beberapa daerah lainnya lebih memprihatinkan. Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Kampar. Perhatian Pemkab terhadap guru agama honorer di MDA tidak seindah julukannya sebagai negeri serambi mekah. Guru agama MDA tidak menjadi perhatian berarti bagi pejabat negeri ini. Pemkab dan DPRD-nya belum mau membuat kebijakan mengalokasikan anggaran di APBD untuk mengangkat guru agama sebagai honorer daerah, sebagaimana yang telah diaspirasikan guru-guru agama ini tahun lalu.
Akibatnya, kebanyakan MDA di Kabupaten Kampar hidup ibarat kerakab tumbuh di atas batu. Honor gurunya hanya mengharapkan iuran murid madrasah ditambah bantuan sukarela warga. Dari iuran yang dapat dikumpulkan itu jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan guru honornya dari kelas satu hingga kelas enam.
Sebagaimana yang dialami MDA Muhammadiyah Dusun Sungai Betung, Desa Pulau Jambu, Kecamatan Bangkinang Barat. Dengan uang Rp10.000 dari iuran murid yang hanya mencapai 80 orang itu, maupun ditambah bantuan sukarela warga tiap bulannya, maka honor yang diterima guru MDA tidaklah memadai. Pihak MDA hanya mampu membayar honor guru sebesar Rp200 ribu saja sebulan.
“Dulu MDA kita ini ada satu orang guru negerinya, tapi sekarang tidak ada lagi karena sudah pensiun. Kini, yang ada semuanya guru honor, yang mendapat gaji sekitar Rp200 ribu sebulan. Kalaulah bukan karena kesadaran akan tanggung jawab pendidikan agama bagi anak-anak di kampung kita ini, mungkin tak ada yang sanggup mengajar,” kata Zulkarnain, salah seorang pengurus MDA Muhammadiyah Dusun Sungai Betung, Desa Pulau Jambu, Kecamatan Bangkinang Barat.
Zul sangat berharap kepada Pemprov Riau dan pemkab/pemko untuk memberikan perhatian serius terhadap pendidikan agama bagi anak-anak, dengan jalan mengangkat guru bantu provinsi dan guru bantu kabupaten/kota untuk guru agama, yang mengabdi di madrasah-madrasah.
Sebab, keberadaan madrasah merupakan modal dasar untuk membentuk masyarakat yang bermoral. Apalagi, seperti Kabupaten Kampar yang mengklaim diri sebagai negeri serambi mekah.
Harapan itu merupakan harapan banyak warga masyarakat Riau yang memang peduli terhadap pengetahuan agama sebagai bekal untuk menjadi rambu-rambu dalam melaksanakan aktifitas hidup bermasyarakat, maupun hidup bernegara, sehingga akan terciptalah keteraturan hidup. Tanpa bekal agama, diyakini manusia benar-benar bakal menjadi homo homonilupus: manusia menjadi serigala bagi manusia yang lainnya.
Namun, akankan tuntutan para guru agama di Riau untuk mendapatkan kesetaraan kesejahteraan dengan guru umun bisa diwujudkan. Tentu jawabannya berpulang pada kita semua, seluruh pengambil kebijakan yang ada di negeri lancang kuning ini.
Karena bagaimanapun kurangnya tingkat kesejahteraan para pendidik moral bagi anak negeri ini tentu akan berimbas pada kinerjanya. Dan semoga kita semua terenyuh atas ketidak adilan yang dialami para guru agama ini. (yus)
 

© 2009 Fresh Template. Powered by Blogger.

Fresh Template by NdyTeeN